Senin, 31 Mei 2010

PERKEBUNAN SAWIT: HEMAT MILYARAN RUPIAH DENGAN PROGRAM PIKAT (bagian1)


Hingga saat ini strategi peningkatan produksi sawit masih berkutat pada pola paling primitif, yaitu perluasan lahan. Ratusan ribu hektar kebun-kebun baru dibuka, sehingga sebagian mengalami konflik-konflik dengan berbagai kepentingan termasuk kepentingan terhadap kelestarian lingkungan.
Diakui ataupun tidak perkebunan Sawit memang menarik, jika dilihat dari kebutuhan yang terus meningkat setiap tahunnya, sementara tidak banyak negara yang mampu mengembangkan perkebunan sawit, sehingga kelak sawit menjadi bagian penting bagi negara dalam mengelola energi.
Hingga saat ini hasil sawit pengolahan sawit paling banyak digunakan sebagai:
  • konsumsi CPO semikin meningkat karena keunggulan produksi dan harga dibanding sumber minyak nabati yang lain
  • penggunaan produk turunan dari minyak sawit yang dapat dipergunakan untuk berbagai industri.
  • dan sawit juga potensial digunakan untuk bahan bakar nabati untuk menggantikan minyak bumi.
Namun demikian investasi untuk membangun industri sawit tidaklah kecil dan memerlukan jangka yang cukup panjang, sehingga perlu managemen khusus untuk menanganinya. Dari sisi budidaya berbagai pos biaya muncul untuk menjaga agar cashflow tetap terjaga untuk mengamankan investasi. Salah satu pos rutin yang cukup besar memakan biaya adalah biaya pemupukan, yang terdiri dari biaya bahan dan biaya aplikasi.
Seperti diketahui sejak April 2010 pupuk NPK bersubsidi telah mengalami kenaikan harga yang cukup signifikan, sedangkan pupuk NPK komersial non subsidi telah lama mengalami kenaikan, sehingga dapat dimengerti jika hal ini menambah tekanan biaya produksi kepada para pemilik kebun sawit. Hal lain yang membahayakan produktifitas kebun sawit, selain harga, adalah kelangkaan. Sehingga harga dan ketersediaan pupuk NPK telah mempengaruhi produktivitas kebun sawit.
Solusi yang bisa dilakukan adalah meningkatkan efisiensi pemupukan atau mencari alternatif pupuk lain yang memiliki produktivitas yang sama namun lebih ringan biaya pemupukannya.
Mari kita coba simulasikan biaya pemupukan dari sisi bahan pupuknya dulu, dengan pendekatan bahwa sebuah pabrik CPO kelas menengah membutuhkan 10.000 hektar kebun sawit. Jika melihat rekomendasi umum kebutuhan pupuk Urea, SP36, MoP, dan Dolomit total berkisar 6-9 kg, dimana komposisinya berkisar 2:1,5:1,5:1 per pokok per tahun. Mengingat harga pupuk tersebut di atas saat ini, biaya yang muncul setidaknya Rp 25.000 per pokok dan jumlah pokok rerata adalah 135 pokok per hektar maka diperoleh biaya bahan pupuk per hektar sebesar Rp 3.375..000. maka dikalikan 10.000 ha akan diperoleh Rp 33,75 Milyar! tiap tahunnya.
Tentu saja angka Rp 33, 75 M per tahun tersebut sangatlah besar mengingat fluktuasi harga sawit. Wajar saja banyak perkebunan sawit berusaha menghemat dengan cara mengurangi kebutuhan pupuknya, agar biaya pemupukan berkurang, sehingga yang terjadi adalah produktivitas menjadi menurun.
Lalu apa yang ditawarkan program PIKAT untuk mengatasi keadaan tersebut? Itulah kira-kira pertanyaan mendasar ketika pemilik kebun Sawit mendengarkan presentasi kita. Bisa dipahami mengapa pertanyaan tersebut muncul. Karena usaha di perkebunan sawit walaupun sangat menarik memerlukan perhitungan investasi tersendiri.
Inti dari program pikat sejatinya adalah meningkatkan keuntungan dalam budidaya sawit. Hal ini dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu:
1.ditambah pupuk NASA secukupnya dengan mengurangi dosis pupuk makro
target: biaya pupuk dikurangi namun produksi tidak ber kurang
2.ditambah pupuk NASA dosis terbaik dengan mengurangi dosis pupuk makro
target: biaya relatif sama namun produksi meningkat
3.ditambah pupuk NASA dosis terbaik dengan tidak mengurangi dosis pupuk makro
target: biaya meningkat namun produksi meningkat jauh melebihi tambahan biayanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silakan memberikan komentar produktif, monggo..